Damainya mata menyaksikan ribuan orang,
yang memboyong serta istri dan keluarga mereka. Kompak. Indahnya hati mendengungkan kekhusyu’an mereka
mengikuti acara demi acara hingga paripurna. Kepuasan jiwa membelalakkan
pandangan memperhatikan cengkerama mereka yang sudah lama tidak jumpa. Mereka
yang sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu. Mereka yang bagai disatukan
kembali.
“Di sini, di kamar ini, dulu kamu
dibully, ditarik sarungnya, ditertawakan ramai-ramai, hingga kamu menangis
tersedu, ndepis di pojokan situ ha ha ha” sontak gerrr penuh tawa khas
santri mewarnai malam.
“Kalau kamu malah lucu lagi,
dasar santri baru, baru kemarin sore nyantri, belum berani sosialisasi,
tiba-tiba disuruh sama Kang Dzakirin beli sesuatu di Toko Nailul Barokah
seberang jalan sana. Tau gak disuruh beliin apa? Beli bidzir. Ha ha haaa”
tertawaan ini semakin keras saja, semakin memecah keheningan malam. Tau kan
bidzir? Iya bidzir, bahasa Arab untuk kata yang bermakna p**no.
“Satu lagi kang, coba siapa
dulu yang pernah jadi korban ritual melihat tuyul? Ha ha haaaa” tawa lepas
semakin menggelegar saja. Konon, bagi santri yang baru awal mondok dan
penasaran dengan hal-hal yang berbau mistis, pasti ditawari oleh kakang-kakang
senior untuk mengikuti ritual melihat tuyul. Haha, kurang ajar memang si senior
itu. Bukannya membimbing fasholatan malah menjahili adik-adiknya dengan ritual
panggil setan. Mereka memanfaatkan rasa penasaran junior mereka terhadap si
tuyul; makhluk halus penghasil fulus itu.
Apakah mereka benar-benar
melakukan ritual pemanggilan makhluk absatal itu? Tentu saja tidak. Dengan
modal mimic wajah serius ditambah dukungan senior lain yang meyakinkan, jadilah
santri-santri lugu itu korban kejahilan mereka. Dalam sebuah kamar yang sengaja
dimatikan penerangnya, si junior dibimbing untung tetap khusyu’ dan merapal
mantra-mantra yang tentu saja karangan mereka sendiri. Dan puncaknya, di
tengah-tengah ritual, si senior yang telah berkoordinasi dengan komplotannya
melakukan ritual abal-abal dengan menggoreskan angus; kotoran bekas pembakaran
hitam lekam yang ada di bagian bawah panci atau penggorengan masak. Angus itu
diusapkan ke wajah junior. Ha ha kurang ajar memang. Begitu paras mereka penuh
dengan angus, disediakan cermin didepannya, kemudian lampu dihidupkan, dan
dengan sigap penjahil-penjahil tadi kabur ke luar kamar dan tertawa
terbahak-bahak.Tentu saja si korban k
aget bukan kepalang. Haha, tuyulnya malah
mereka sendiri yang dihias dengan wajah belepotan hitam legam.
Haha hihi, begitulah sekelumit
kisah santri Al Qaumaniyah yang selalu terngiang abadi dalam sanubari. Kisah
indah penuh berkah. Tidak akan terlupa sepanjang hayat. Nyesel deh, barang
siapa yang dalam hidup tidak pernah merasakan nyantri. Hidup Santri! Hidup Al
Qaumaniyah!
Selamat Bertemu Kembali pada 2
Februari 2016,
Ramaikan Qaumaniyah …
Satukan Jiwa Mutakhorijin kita …